Selasa, 25 Mei 2010

SAPARAN

Boyolali (ANTARA News) - Ribuan orang berkumpul untuk mengikuti upacara Saparan, yang antara lain diwarnai dengan menyebar 10.000 kue apem dan kirab budaya, di objek wisata Umbul Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jateng, Jumat.

Masyrakat dari berbagai daerah di Boyolali tersebut mulai berdatangan dan memadati lokasi Wisata Pengging pada siang hari.

Prosesi upacara itu diawali dengan kirab budaya yang diikuti ratusan orang dari berbagai kelompok kesenian setempat dan prajurit Keraton Surakarta bersenjata lengkap.

Mereka mengarak dua gunungan kue apem setinggi sekitar 1,5 meter yang berangkat dari Balaidesa Ngaru-aru hingga ke Masjib Cipto Mulyo Pengging.

Camat Banyudono Karseno menjelaskan, upacara tradisi sebar apem kukus yang berlangsung di objek wisata Umbul Pengging tersebut merupakan upaya melestarikan tradisi.

"Sekitar 10.000 kue apem dari masyarakat setempat disebar di tiga panggung. Hal itu dilakukan untuk memecah kumpulan orang agar tidak berjubel di satu tempat saja karena jumlah pengunjung meningkat dibanding tahun sebelumnya," katanya.

Sekretaris Daerah Boyolali Daryono yang mewakili Bupati mengatakan, tradisi sebar apem juga upaya pengembangan sektor pariwisata.

Kegiatan itu, kata dia, untuk mengenalkan budaya dan objek wisata setempat kepada masyarakat.

"Tradisi sebar apem diyakini masyarakat setempat sebagai upacara ritual memohon kepada Tuhan, agar diberikan keselamatan, hidup makmur, dan sejahtera," katanya.

Karapan Sapi Madura

Selain terkenal dengan Sate Madura dan garamnya, Pulau Madura memiliki banyak kebudayaan yang masih terus dilestarikan. Salah satunya adalah tradisi Karapan sapi yang merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi. Karapan sapi sudah ada sebelum abad XV Masehi.

Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh sampai lima belas detik.

Karapan sapi merupakan acara yang prestisius bagi masyarakat Madura, pemilik sapi karapan akan merasa status sosialnya terangkat apabila sapinya bisa menjadi juara. Hewan memamah biak ini juga dijadikan alat investasi selain emas dan uang. Tak mengherankan, bila para pemilik sapi karapan akan mengerahkan segala daya upayanya untuk membuat sapi-sapinya menjadi pemenang dalam setiap musim karapan. Sekadar diketahui, sapi karapan umumnya dari Pulau Sapudi [baca: Atlet Sapi di Pesta Karapan]. Sejak dulu, pulau kecil yang terletak di ujung Timur Pulau Madura itu memang gudangnya sapi bibit unggul.

Kejuaraan dimulai dari tingkat Kecamatan dilanjutkan ke tingkat Kabupaten dan diteruskan sampai ketingkat Karisidenan. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di kota Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.

Kerapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Benar-benar meriah, apalagi alunan musik seronen menonjolkan perpaduan bunyi gendang, terompet, dan gong yang disertai tarian para pemainnya. Para pemusik seronen ini memang sengaja disewa oleh para pemilik sapi. Terutama untuk menyemangati anggota kontingen beserta sapi-sapinya sebelum karapan dimulai.

Upacara Tradisional Maleman Klaten

Terletak di alun alun kota Klaten dan monumen Juang 45 Klaten
Luas kawasan 1 ha
Diadakan Tiap malam tanggal 21 bulan Romadhon sampai dengan Idul Fitri
Bentuknya Pasar Malam
Sifat Rutin tiap tiap tahun
Jumlah pengunjung ± 25.000 orang

Legenda :
Alkisah pada bulan bulan romadhon adalah merupakan bulan suci, bulan yang penuh rahmat dan barokah bagi umat Islam, upacara ini konon kisahnya bermula di sekitar Masjid Mlinjon, pada malam 21 bulan romadhon, menurut keyakinan kaum muslimin adalah malam turunnya : Lailatulqodar yang artinya malam yang lebih baik dari seribu malam.

Malam itu malam yang penuh selamat sejahtera sampai terbit fajar. Pada malam malam itu Masjid Mlinjon dipenuhi oleh kaum muslimin untuk menunaikan sholat tarawih yang diteruskan dengan tadarusan Al Quran sampai larut malam menjelang suhur, bagi masyarakat umum ikut menghormati malam bahagia itu dengan jalan jalan atau cegah lek sampai larut malam bahkan ada yang sampai terbit matahari dengan harapan agar mendapat Lailatulqodar. Disekitar Masjid Mlinjon itu banyak orang yang berjualan, mendirikan stand kerajinan, mainan anak anak maka lokasi tersebut menjadi ramai.

Maka keramaian tanggal malam 21 Romadhon merupakan tradisi tiap tiap tahun diadakan. Pada suatu ketika Sinuhun Paku Buwono ke X berkenan sholat tarawih di Masjid Mlinjon serta menyaksikan adanya keramaian tersebut dan alun alun Klaten dekat nDalem Kadipaten (sekarang gedung RSPD). Upacara tradisional Maleman di alun alun ini berjalan baik, bahkan dari tahun ke tahun semakin berkembang keramaiannya. Upacara tradisional Maleman di alun alun Klaten berjalan rutip tiap tiap tahun yang dimulai dari tanggal 12 Romadhon sampai dengan Hari Raya Idhul Fitri yang diteruskan dengan Upacara Syawalan di Jimbung.

SEKATEN-upacara jogja

Sekaten

Nabi Besar Muhammad S.A.W. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ke tiga dari tahun Jawa. Di Yogyakarta, biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan upacara Grebeg Maulud. Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama.

Pada masa - masa permulaan perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran karawitannya.

Untuk tujuan itu, dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki laras suara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu. Di sela - sela pergelaran, kemudian dilakukan khotbah dan pembacaan ayat - ayat suci dari Kitab Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam. Istilah “Syahadat” yang diucapkan sebagai “Syahadatain” ini kemudian berangsur - angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi “Syakatain” dan pada akhirnya menjadi istilah “Sekaten” hingga sekarang.

Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, ring - iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap.

Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “Srono” (Syarat) nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten.

Oleh karenanya, selama diselenggarakan perayaan Sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan ramuannya, nasi gurih beserta lauk-pauknya di halaman Kemandungan, Di Alun-alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta.
Bagi para petani, dalam kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil. Untuk memperkuat tekadnya ini, mereka membeli cambuk (bhs. Jawa : pecut) yang dibawanya pulang.

Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara Sekaten dimulai, Pemerintah Daerah Kotamadya, memeriahkan perayaan ini dengan pasar malam, yang diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.

ReoG_PonorogO

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.
Sejarah Reog Ponorogo
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.

Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.


Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya.

Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya.

Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya.


Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Upacara^_^Ngaben


Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.

Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.

Selasa, 18 Mei 2010

SEPUTAR CUBAN RONDO

[LAGENDA COBAN RONDO] - Kisah dibalik Air Terjun Coban Rondo, bermula dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut dengan Selapan (bahasa jawa). Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, yang merupakan asal dari suami. Namun orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka baru berusia 36 hari atau disebut selapan. Namun kedua mempelai tersebut bersikeras pergi dengan resiko apapun yang terjadi di perjalanan.


Ketika di tengah perjalanan keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono, yang tidak jelas asal-usulnya. Nampaknya Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati, dan berusaha merebutnya. Akibatnya perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tidak terhindarkan. Kepada para pembantunya atau disebut juga puno kawan yang menyertai kedua mempelai tersebut, Raden Baron Kusumo berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di Coban atau air terjun. Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dengan Joko Lelono berlangsung seru dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo. Sejak saat itulah Coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan COBAN RONDO. Konon batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya.

Bali-nya Jawa Timur ^^

Track wisata kali ini ke Laut Selatan tepatnya ke lokasi Pantai Balekambang yang ada di Kecamatan Bantur, 65 km arah ke selatang dari kota Malang. Kalo mungkin diliat dari TrackLog, kok banyak muter muter di kota Malang, yah itulah saya bingung mau cari makan dimana di kota Malang, bukan karena gak ada restaurant tapi karena istri lagi hamil, kemauannya sulit ditebak.
Ini kali kedua saya ke Bale Kambang dan melalui rute Gondanglegi dan Bantur, walau sebenarnya kalo diliat dari Peta, perjalanan ini dapat pula dicapai melalui Kepanjen terus ke Pagak belok ke kiri ke arah Bantur, tapi kayaknya lebih jauh dan ribet makanya saya putuskan ambil track melalui GondangLegi dan Bantur, walau jalan yang dilalui ke lokasi beraneka ragam bentuknya, mulai dari turunan hingga tanjakan curam yang hanya bisa pake gigi satu dimobil (S 08.36315 E 112.55623), wah tapi asyik banget kok, apalagi begitu kita melihat loket pintu masuk ke pantai (S 08.40005 E 112.54404), rasanya lega udah sampai. Oya sedikit informasi jalan rute setelah kecamatan GondangLegi cukup hanya bisa dilalui 2 mobil pas, karena saya bawa mobil Karimun yah gak masalah dah. Nggak terbayang gimana yah kalo minibus pada papasan dijalan ? padahal kanan kiri turunan tebing cukup curam dengan dihiasi hutan jati.

Pantai Balekambang memang cukup menawan, ini saya bicara pantainya lo, tapi sayangnya hal ini tidak didukung pula dengan fasilitas yang memadai, hingga terkesan kumuh. Apalagi kalo liat sarana MCK-nya yang, maaf baunya..yah tau sendirilah Walaupun begitu, pantai ini cukup bersih dengan pasir putih yang menawan, tempat parkir yang luas. Teradpat pula failitas camping ground, kios cinderamata, rumah makan, kantor informasi, bungalow sangat sedeharna, mushola, dan pendopo. Sayangnya semua ini tidak dirawat dengan baik. Sayang ya, padahal untuk akses masuk perOrang Rp. 5,200,- dan setiap masuk MCK ada juga retribusi Rp. 500,-, tapi kok masih bau dan gak terawat, yah tau dah, males mikirinnya, namanya Indonesia

Pantai BaleKambang dipenuhi dengan karang laut, yang membentang sepanjang kurang lebih 2000 meter dengan lebar 200 meter ke arah laut. Menurut penduduk setempat, jika air laut surut biasanya diantara karang-karang atau bebatuan tersebut banyak ditemui ikan hias bergerombol dan hewan laut lainnya. Dipantai ini terdapat tiga buah pulau berjajar ke arah barat, yakni Pulau Ismoyo, pulau Anoman dan Pulau Wisanggeni. Di Pulau Ismoyo berdiri megah sebuah Pura, akses ke Pura dihubungkan oleh sebuah jembatan setapak dengan lebar 1,5 meter. Sepintas, mirip pantai dengan Pantai Kuta - Bali.

Pada bulan Suro, Pantai Balekambang cukup ramai di datangi wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Ada acara yang khusus di Pantai Balekambang ini yaitu Upacara Surohan (Suro'an) dan Upacara Jalanidhi Puja. Selamat berwisata tapi sebelumnya cek kondisi kendaraan anda supaya nyaman dan aman diperjalanan.

"SEMPU" Island


Objek wisata alam yang satu ini memang tidak sebeken obyek lainnya di Jawa Timur Gunung Bromo. Akan tetapi, keistimewaannya sangat unik dan jelas berbeda dari objek-objek wisata lainnya di sana.

Jauh dari kebisingan, suasananya alami, asri dan tidak ada satu pun bangunan yang berdiri di Pulau ini seperti tempat penginapan, rumah makan dan sebagainya. Pulau Sempu, adalah sebuah pulau kecil yang terletak di sebelah selatan Pulau Jawa. Pulau ini berada dalam wilayah Kabupaten Malang, Jawa Timur. Saat ini Sempu merupakan kawasan cagar alam yang dilindungi oleh pemerintah. Di pulau tersebut ada lebih dari 80 jenis burung yang dilindungi dan juga masih terdapat hewan-hewan lainnya seperti; babi hutan, kancil, juga lutung jawa dan jika beruntung bisa menemui jejak–jejak macan tutul.

Selain berenang para pengunjung juga bisa bersantai dengan bermain voli pantai. Bagi yang menyukai suasana alam yang asli dan jauh dari kebisingan kota, Pulau Sempu merupakan tempat yang pas untuk dikunjungi.

Keunikan berwisata di pulau ini adalah jika air sedang surut kita bisa menyebrang dari Pualu Jawa menuju Pulau Sempu. Pengunjung umumnya menyeberang pergi dan pulang pada pagi dan sore hari, karena penyebrangan hanya bisa dilakukan pada saat-saat itu dan bahkan tidak boleh lebih dari pukul 16.00 sore. Di pulau ini terdapat telaga yang disebut Segara Anakan. Dimana air yang terdapat di telaga ini berasal dari air deburan ombak yang menghantam karang. Sebagian air itu mengalir masuk ke Segara Anakan melalui karang yang berlubang besar di tengahnya.

Jika pengunjung ingin bermalam di sini anda bisa menginap di penginapan–penginapan milik masyarakat di sepanjang jalan menuju Pantai Sendangbiru. Atau bisa juga dengan membuka tenda di Pulau Sempu, namun pengunjung harus meminta izin terlebih dahulu di pos penjagaan di Sendangbiru yang terletak tepat di seberang Pulau Sempu. Hal ini dilakukan demi menjaga kelestarian habitat dan lingkungan sekitar objek wisata Cagar Alam ini.

KEKUATAN MISTIS MERAPI

NAMA gunung Merapi sudah cukup populer di telinga masyarakat Indonesia. Sesuatu yang berkaitan keberadaan gunung Merapi kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau misteri, di antaranya keberadaan makhluk-makhluk gaib penguasa dan penghuni gunung Merapi. Hal ini tidaklah berlebihan, karena hasil investigasi membuktikan bahwa masyarakat setempat yakin kalau penghuni dan penguasa gunung Merapi memang ada.

Mereka memanggilnya dengan sebutan Eyang Merapi. "Bapak lihat bukit kecil di atas itu? Itu namanya gunung Wutah, gapuranya atau pintu gerbangnya kraton Eyang Merapi". Sebaris kalimat dengan nada bangga itu meluncur begitu saja dari Bangat, seorang penduduk asli Kinahrejo Cangkrinagan Sleman, sesaat setelah kami menapaki sebuah ara tandus berbatu tanpa hiasan pepohonan sebatang pun.

Masyarakat setempat meyakini, kawasan wingit yang diapit oleh dua buah gundukan kecil itu memang dikenal sebagai pelatarannya keraton Eyang Merapi. Untuk naik ke sana, diingatkan agar uluk salam, atau sekadar minta permisi begitu di atasnya. "Kulo nuwun Eyang, kulo ingkang sowan, sumangga silakna rikma niro," imbuh istri Bangat, Suharjiyah, sembari menuntun kami untuk menirukan lafal tersebut.

Tenyu saja, imbauan sepasang suami istri yang tubuhnya kian keriput dimakan usia itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, sang penguasa kraton Merapi sangat tersinggung bila ada pendatang baru yang neko-neko (berbuat macam-macam), pethakilan (bertingkah tidak senonoh) tanpa memberi uluk salam (permisi). Hal-hal tersebut jika dilanggar akibatnya akan sangat fatal. "Mereka yang sama sekali tidak mengubris pakem kultur tersebut jelas akibatnya akan fatal, biasanya akan tersesat hingga kecebur jurang," tegas Bangat.

Satu hal yang perlu diingat, setiap pendatang baru di kawasan Kinahrejo niscaya bakal celaka bila sampai menyakiti hati penduduk setempat. "Nantinya bisa-bisa kuwalat jadinya," imbuh Bangat. Sekejam itukah? "Sebenarnya sih enggak. Cuma memang, Eyang Merapi itu nggak suka kalau kampung sini (Kinahrejo, Red) jadi sasaran perbuatan yang nggak terpuji. Masalahnya, warga sini sebetulnyakan masih termasuk rakyatnya kraton Eyang Merapi. Nggak percaya? Coba saja Bapak perhatikan dan tanyakan kepada warga sini, apa pernah wilayah ini terkena semburan lahar panas Merapi? Pasti jawab mereka tidak," terang Bangat.

Ditambahkan, beberapa warga setempat menggambarkan sosok penguasa kraton Merapi dengan makhluk yang menyeramkan, namun berhati mulia dan tidak bermaksud jahat, "Dia adalah pengayom masyarakat setempat," tandas Suharjiyah. Besarnya rasa percaya masyarakat setempat terhadap keberadaan Eyang Merapi membuat mereka yakin bahwa akan hal-hal yang mistis yang terjadi menimpa masyarakat. Misalnya, pintu gerbang kramat, penduduk yang tinggal di lereng gunung Merapi itu percaya bahwa pintu gerbang tersebut penangkal dari segala marabahaya.

Pintu gerbang yang berdiri selama 9 abad itu nyaris pernah tersentuh bencana gunung Merapi. Padahal secara teknis daerah tersebut termasuk daftar daerah bahaya. Hal itu juga tak lepas dari keberadaan dua buah bukit (Wutah dan Kendit) yang berfungsi sebagai benteng desa-desa sekitar Kinahrejo. "Bukit Kendit maupun bukit Wutah itu kan masih masuk dalam wilayah kekuasan Eyang Merapi. Itukan pasebannya (tempat untuk menghadap raja) kraton Eyang Merapi. Jadi nggak mungkin Eyang akan tega membinasakan orang yang memang sudah lama mendiami tempat sekitar itu," Bangat menjelaskan lebih jauh.

Memang, dibandingkan penduduk desa lainnya, nasib penghuni desa Kinahrejo dan sekitarnya termasuk yang beruntung. Selain merupakan desa yang nyaris selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah reresentasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.

Tak aneh kalau dikemudian hari kerap muncul sindirin dikalangan penduduk setempat kepada warga diwilayah barat daya gunung Merapi yang kerap jadi langganan bencana lahar. "Kalau ingin hidup tenang tentram, pindahlah kemari. Eyang Merapi kan selalu melindungi kami," ujar Wardiyah, salah seorang warga yang mengaku penduduk asli desa Kinahrejo.

Ucapan Wardiyah tersebut memang ada benarnya. Penduduk desa Kinahrejo seolah telah mendapat garansi dari Eyang Merapi. Pendek kata, selagi mereka patuh terhadap segala peraturan yang ada misalnya selalu mempersembahkan bulu bekti berupa persembahan sesajian serta selalu melakukan ritual labuhan setiap tahunnya, mereka yakin dan optimis bahwa mereka akan senantiasa terhindar dari ancaman letusan Merapi.

MAHAMERU

Semeru, 3676 m di atas permukaan laut, terletak di Malang dan Lumajang. Gunung tertinggi yang menjadi atap Pulau Jawa. Gunung yang menjadi impian bagi semua pendaki untuk bisa berdiri di puncaknya, Puncak Mahameru. Gunung yang konon katanya menurut kepercayaan Jawa Kuno, menjadi tempat bersemayam para dewa.

Keinginan mendaki Semeru ada sekitar tahun ke-2 aku menjadi anggota Pamitran Lelana Giri Jaga Bhumi, organisasi pecinta alam di SMA. Memasuki dunia kuliah, keinginan itu terlupakan. Pertengahan tingkat 1, aku pinjam buku dari seorang teman.,yupz.,”5cm” judulnya.,pasti udah banyak yang tahu.,buku luar biasa tentang persahabatan, petualangan, dan impian. Bahwa impian itu tidak berada jauh di atas langit sana.,tapi taruh 5cm di depan dahi.,agar kita bisa terus ingat dan terpacu untuk mewujudkan impian itu.

Sejak membaca 5cm, tercatat 3 kali rencana pendakian ke Semeru gagal. Terhambat masalah status siaga Semeru,persiapan teknis, maupun jumlah personil. Liburan Idul Fitri kemarin merupakan rencana ke 4 kalinya. Semua sudah fixed, kami berencana berangkat 6 orang. Namun, 2 minggu menjelang keberangkatan, 4 orang teman kami menyatakan berhalangan. Tinggal 2 orang tersisa. Aku dan Destiko. Berat juga, tetapi kami memutuskan untuk lanjut. Bukan bermaksud nekad atau sok berani,tetapi demi sebuah tekad dan niat dari awal, bahwa Semeru harus kami daki. Untuk menemukan pengalaman menakjubkan di atas sana. Satu lagi. Sebagai bukti eksistensi PLG Jaga Bhumi.,keluarga yang mengajarkan kami tentang solidaritas, kerja keras, loyalitas, dan rasa cinta kepada alam. Kami mendengar bahwa Jaga Bhumi akan divakumkan oleh pihak sekolah. Sebagai bukti bahwa Jaga Bhumi tidak akan pernah mati, selama bumi masih perlu kita jaga.

Hari Pertama
Kamis, 24 September 2009. Awal perjalanan kami. Berangkat dari Ambarawa jam 18.30, diantar Icang, Icha, Meytha. Sunggguh, sebuah kebersamaan yang memberi semangat tersendiri. Sampai di Poncol jam 20.00, beli tiket KA Matarmaja 28rb, dapat tiket berdiri.,gak masalah.,yang penting sampai Malang. Karena kereta baru berangkat jam 01.00, kami memutuskan untuk keliling Semarang dulu.,foto2 di Simpanglima dan Lawangsewu.,

Matarmaja (singkatan Malang-Blitar-Madiun-Jakarta)

tiba di Poncol jam 01.00.,wow.,penuh berjubel!! Sama sekali tidak ada tempat di dalam gerbong. Apalagi tas carrier kami besar. Kami semula mengira penumpang ke arah Malang tidak begitu padat karena seharusnya arus balik menuju Jakarta. Kami akhirnya berdiri di depan toilet.,tepat di samping pintu gerbong.,berbahaya.,tapi tidak ada pilihan lain. Semarang-Malang kami tempuh dalam keadaan seperti itu.

Hari Kedua

Jumat, 25 September 2009. Kereta berhenti sebentar di Jebres, Solo lalu lanjut lagi sampai di Madiun sekitar jam 05.00, lanjut ke Blitar, sampai di Stasiun Malang jam 11.30. Lelah, panas, lapar. Kami memutuskan untuk langsung ke Terminal Arjosari (naik angkot AMG, 2500) lalu lanjut ke Terminal Tumpang (angkot TA, 7rb). Tumpang adalah checkpoint awal sebelum naik ke Ranupane. Kami solat Jumat di mesjid Tumpang, sekaligus memohon kemudahan, kelancaran, dan keselamatan dalam pendakian. Lalu makan siang sebentar (2 mangkok soto+2 teh manis+4 mangkok es buah hanya seharga 18rb.,wuihhhh.,mak nyuz!). Jam 14.00 kami berangkat ke Ranupane naik jip yang berisi 16 orang.,di jip inilah kami bertemu rekan seperjuangan yang selanjutnya menjadi satu tim.

Kami berhenti di posko Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru untuk mengurus perizinan. Di sana kami juga harus menandatangani surat pernyataan bermaterai yang isinya pendakian hanya diizinkan sampai Kalimati dan apabila melanjutkan ke Arcopodo dan Puncak Mahameru, pihak TNBTS tidak menanggung resiko apabila terjadi kecelakaan. Bagaimanapun, resiko pasti ada dan harus dihadapi. Kami kembali meluruskan niat dan membulatkan tekad.

Kami sampai di Ranupani jam 17.00, mengurus surat perizinan (lagi). Perizinan di Semeru memang cukup ketat dan biayanya juga lumayan mahal dibandingkan dengan gunung lain. Dibandingkan dengan gunung-gunung lain yang pernah aku daki, basecamp Semeru adalah yang terbaik, baik dari fasilitas maupun kelengkapan lain. Ada parabola, pemancar radio, PC, bahkan layar monitor plasma LCD 22 inch. Mantap!! Jadi malam sebelum tidur, ada teman kami yang sempat nonton bioskop TransTV. Di gunung. Yeah. Wajar, karena Semeru masuk dalam TNBTS. Jadi ada anggaran dana untuk menyokong.

Evaluasi bagi gunung-gunung di Jawa Tengah (Ungaran, Merbabu, Merapi, Lawu, Sindoro, Sumbing, Slamet) seharusnya lebih memperketat perizinan dan regulasi agar konservasi di gunung bisa terjaga. Untuk perizinan, hampir mencapai 20rb. Awalnya kami berlima berniat langsung memulai pendakian malam itu juga hingga ke Ranu Kumbolo. Tapi petugas menyarankan agar pendakian ditunda, karena medan di malam hari kurang bersahabat, jalur pendakian sulit dikenali dan cuaca juga sangat dingin. Kami patuh. Lalu kami mencari lokasi bermalam. Dapat tempat di pondok pendaki di tepi Ranu Regulo. Ranu Regulo adalah danau persis di samping danau Ranupane.

Di pondok kami menggelar matras, menyiapkan SB dan baju hangat, serta memasak ala kadarnya. Sariwangi + susu bendera + coklat batangan. Cukup menghangatkanar dan memberi energi secukupnya. Kami pun berangkat tidur sekitar pukul 20.00. Aku memakai kaos dobel dan jaket dobel, kaos kaki, sarung tangan, balaclava, masker. Awalnya dinginnya terasa wajar (kami lihat suhu terakhir di basecamp adalah 17 drajat C). Namun, semakin malam dingin semakin tak wajar. Secara tak sadar aku menggigil keras. Sukar ditahan. Saat itu sekitar jam 02.00. Benar-benar dingin. Aku mencoba tidur lagi, terbangun jam 04.00. Saat itu dingin benar-benar tak tertahankan lagi. Aku memilih tidak tidur lagi, karena lebih baik menahan dingin dalam keadaan terjaga daripada dalam keadaan tertidur.

Jam 05.00 langit mulai terang. Ketika kami keluar, ada kristal-kristal es yang menempel di dedaunan. Di permukaan Ranu Regulo, uap menguar dari permukaan danau seperti asap. Brrrr.,bisa dibayangkan betapa dingin udara saat itu. Jam 06.30 saat mengecek ke posko pendakian, suhunya 9 drajat C. Berarti suhu semalam bisa mencapai 4 drajat C, atau mungkin di bawah itu.

Aku jadi berpikir.,mungkin ini adalah ucapan selamat datang dari Semeru.,sekaligus tantangan.,”apakah kau akan terus berjuang demi mimpi dan tekadmu, anak muda?”.,memastikan bahwa kami siap untuk petualangan-petualangan selanjutnya.,dan aku jawab dalam hati.,”YA.,demi sebuah mimpi, harapan, dan hati”

Selasa, 11 Mei 2010

KRAKATAU

Sekilas Sejarah Gunung Krakatau

krakatau

Pulau Rakata, yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba kemudian tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang dikenal sebagai Gunung Rakata yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.

Letusan Gunung Krakatau

Satu-satunya kesaksian tentang kedahsyatan dan dampak dari letusan Gunung Krakatau ditulis dengan Judul Syair Lampung Karam. Tetapi pada edisi-edisi berikutnya terdapat variasi pada judul tersebut. Dan syair itu ditulis oleh seorang pribumi dengan nama Mohammad Saleh.


Menuju Gunung Krakatau

Dim lights
Letusan Kecil Gunung Krakatau, Sejarah dahsyat tentang Letusan Krakatau yang terungkap melalui Syair Lampung Karam

Secara administratif, pulau bergunung api di Selat Sunda ini sebenarnya masuk dalam wilayah Provinsi Lampung. Sekarang, Anak Krakatau telah mencapai ketinggian 200 meter di atas permukaan laut dengan diameter 2 km. Untuk mengunjunginya Anda bisa berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priuk dengan naik Jet-Foil atau Kapal Phinisi Nusantara. Jalur kedua adalah dari Pelabuhan Labuan, Banten. Dari sini Anda dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang berkapasitas antara 5 sampai 20 orang.

gunung krakatau

Jalur ketiga bisa ditempuh melalui Pelabuhan Canti, Kalianda-Lampung. Di pelabuhan ini Anda juga dapat menyewa kapal motor atau kapal nelayan yang akan menempuh Krakatau melalui P. Sebuku dan P. Sebesi. Pada bulan Juli saat Pemda Provinsi Lampung menggelar Festival Krakatau, Anda bahkan bisa ikut menyeberang ke pulau itu.

Sedang dari kawasan Anyer dan Carita, sejumlah hotel juga punya paket mengunjungi Krakatau. Silakan pilih cara sesuai kemampuan.